Jum'at, 14 Desember 2012
RMOL- “Bailout Bank Century adalah perampokan,” ujar mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK), saat berbicara dalam acara Sarasehan Anak Negeri yang disiarkan secara live oleh Metro TV, Kamis malam, 11 November 2011.
Penegasan JK itu menggambarkan kegeramannya atas proses pengambilan keputusan bailout Bank Century. Sebagai Wapres, saat itu Kalla sama sekali tidak dilapori para bawahannya, yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono.
Padahal, saat keputusan tersebut diambil, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tengah berada di San Fransisco, Amerika Serikat. Sesuai hukum tatanegara, seharusnya Wapres menggantikan Presiden jika sedang berada di luar negeri. Tapi, ya itu tadi, JK telah ditelikung para pembantunya.
Dalam keterangannya di kepada Tim Pengawas Kasus Bank Century DPR di Gedung DPR, Rabu (19/9/2012), Kalla menyatakan proses pembahasan hingga muncul keputusan memberi bail out Rp 6,7 triliun kepada Bank Century merupakan operasi senyap dan di luar pengetahuannya sebagai Wapres.
Seperti disampaikan Kalla, tak pelak lagi, bailout Bank Century adalah perampokan uang negara. Awalnya, pelaku perampokan itu adalah sang pemilik bank, Robert Tantular. Namun dari berbagai temuan selanjutnya, termasuk audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ternyata Robert tidak sendirian. Dia dibantu sejumlah tokoh kunci negeri ini yang ternyata punya kepentingan jauh lebih besar, kekuasaan!
Apa hubungannya dana talangan Bank Century dengan kekuasaan? Siapa saja yang bermain? Mengapa harus menggarong uang rakyat melalui Century?
Mantan Anggota Komisi Perbankan dan Keuangan Fraksi PAN di DPR, Muhammad Hatta Taliwang punya jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut.
“Bailout Bank Century yang sudah diaudit BPK merupakan rekayasa Boediono untuk meraih kekuasaan. Dia berbuat melanggar hukum dengan mengeluarkan dana bailout itu dari duit BI trilyunan rupiah dengan imbalan jadi Cawapres SBY,” ujar Hatta seperti dikutip RimaNews (11/12/12).
Menurut dia, Boediono mengupayakan bailout setelah menghadap Widjojo Nitisastro (mantan Menko Ekuin era Soeharto dan komandan neoliberalisme RI) dan mantan Menkeu Prof Ali Wardhana. Konon, Ali Wardhana sudah mengingatkan apa yang akan dilakukan Boediono berbahaya. Eranya sudah lain, bukan lagi seperti di zaman Pak Harto. Sebaliknya Widjojo justru mendorong bailout dilakukan. Alasannya SBY itu baik untuk penerapan madzhab neoliberalisme di Indonesia. Namun persetujuan itu disertai satu syarat, yaitu Boediono jadi Cawapres SBY pada Pilpres 2009.
Berbekal restu dari Widjojo itulah, skenario perampokan uang negara melalui Bank Century digulirkan. Menurut versi Robert Tantular, Bank Century hanya memerlukan tambahan likuiditas sebesar Rp 650 miliar. Namun dengan berbagai pat-gulipat, angkanya terus membengkak. DPR sendiri akhirnya menyetujui dana talangan sebesar Rp 1,3 triliun. Artinya, jumlahnya telah melonjak hingga dua kali lipat yang dibutuhkan.
Namun syahwat kekuasaan menganggap Rp 1,3 triliun tidak memadai. Maka dengan berbagai kebohongan dan kelicikan, angkanya menggelembung menjadi Rp 6,7 triliun. Dana inilah yang kemudian diduga kuat mengalir untuk memenangkan satu parpol dalam Pemilu dan Pilpers 2009.
Presiden terlibat?
Dalam banyak kesempatan, SBY berkali-kali menyatakan sama sekali tidak tahu rencana dan keputusan bailout Bank Century.
Benarkah demikian?
Ternyata tidak juga!
Pada notulen rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) 13 November 2008, halaman 7, tercantum dua paragraph sebagai berikut:
“Sdri. Sri Mulyani menginformasikan telah menyampaikan ini kepada Presiden RI, namun pada hari ini Presiden RI akan melakukan perjalanan dinas ke San Fransisco, USA yang artinya sampai dengan esok hari, dalam hal diperlukan, Presiden RI belum dapat mengambil keputusan.”
“Oleh karena itu Sdri. Sri Mulyani mengharapkan kepada Bank Indonesia agar pada tanggal 14 November dapat menangani situasi dan kondisi termasuk deposan-deposan, bank-bank, rumor maupun hal-hal lain yang mungkin terjadi. Apabila keesokan hari tanggal 14 November situasi dapat terkendali, maka masih ada waktu pada hari Sabtu, tanggal 15 November 2009 (mungkin salah ketik, seharusnya 2008?) dan hari Minggu tanggal 16 November 2009 (mungkin salah ketik, seharusnya 2008?) dimana Presiden RI sudah kembali ke tanah air, sehingga dapat membahas masalah ini lebih baik lagi.”
Berdasarkan fakta notulen rapat tersebut, mana boleh SBY menyatakan tidak tahu-menahu. Bukan tidak mustahil, sejatinya SBY bukan sekadar tahu, melainkan juga terlibat (atau bahkan mind master?) dari keputusan bailout Bank Century.
Dugaan ini bukanlah tanpa bukti. Lagi-lagi notulen rapat yang sama menyebut peran penting dan dominan Marsilam Simanjutak. Fakta ini bisa ditemui pada halaman 8, yang berbunyi:
“Lebih lanjut Sdr. Boediono menginformasikan bahwa dirinya bersama dengan Sdr. Sofyan dan Sdr. Marsialm akan membahas kembali hal-hal yang perlu dilakukan untuk menangani permasalahan Bank Century.”
Saat rapat-rapat operasi senyap bailout Bank Century diselenggarakan, Marsilam adalah Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). Dalam notulen, Marsilam disebut hadir sebagai narasumber. Namun anehnya, di halaman 8 notulen itu menyebut dia bersama Boediono dan Sofyan Djalil akan membahas kembali hal-hal yang perlu dilakukan untuk menangani permasalahan Bank Century.
Sebagai Ketua UPK3R, bisa dipastikan kehadirannya di rapat-rapat itu atas sepengetahuan Presiden. Tentu tidak berlebihan, jika dia menjadi semacam “pengganti” atau “mewakili” Presiden. Dengan demikian, Marsilam pasti selalu memberi laporan-laporan progresnya kepada SBY.
Dengan fakta-fakta seperti ini, bagaimana mungkin SBY bisa dengan gagah berani menyatakan sama sekali tidak tahu-menahu? Bukankah ini artinya dia sudah melakukan pembohongan publik? Presiden dengan standar moral seperti apa yang mampu membohongi rakyatnya? Berkali-kali pula?
***
Beberapa waktu terakhir sejumlah politikus Senayan mengusulkan agar menggunakan hak untuk menyatakan pendapat terkait laporan KPK terhadap Timwas Century. Pasalnya, Ketua KPK Abraham Samad menyatakan, ada dua warga negara di republik ini yang mendapatkan hak istimewa dalam perlakuan hukum, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan landasan tadi, terbuka ruang bagi anggota DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat dalam menyikapi skandal kasus Bank Century. Tidak menutup kemungkinan, Wapres Boediono dapat dimakzulkan dari jabatannya dengan hak yang dimiliki anggota DPR.
Namun terlepas dari hal-hal spiritual tersebut, buku ini seperti menyegarkan kembali ingatan kita tentang skandal Bank Century yang tidak kunjung tuntas. Entah, ada apa sesungguhnya yang terjadi hingga kasusnya terus berlarut-larut. Lembaga superbody semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang biasanya garang pun, menjadi gagap dan kelu ketika berhadapan dengan kasus ini. Harapan publik memang sempat membuncah ketika Abraham Samad didapuk sebagai ketua menggantikan Busyro Muqodas. Apalagi Abraham sejak pagi-pagi sudah sesumbar akan mewakafkan dirinya untuk memberantas korupsi yang sudah menjadi extraordinary crime di negeri ini.
Sayangnya, harapan tinggal harapan. Sesumbar yang begitu gagah berani pun di lapangan seperti kerupuk tersiram air. Begitu rumit dan musykilkah skandal Century? Begitu hebat dan dahsyatkah tokok-tokoh di balik skandal ini?
Dalam janji-janji kampanye Pilpresnya, SBY berkali-kali menyatakan akan memimpin langsug perang melawan korupsi. Tapi, lagi-lagi, obral janji adalah satu hal, praktik di lapangan adalah hal lain. Dia tidak mengambil tindakan apa pun terhadap menteri-menterinya yang terindikasi korupsi. Alasannya, belum menjadi tersangka. Biarlah hukum yang menentukan. Di negara-negara maju, seorang pejabat publik yang baru diduga atau terindikasi skandal dan kriminal, langsung mengundurkan diri.
Namun lagi-lagi SBY menggunakan standar etika yang amat rendah dalam memimpin negeri ini. Sebagai Presiden, apalagi yang memenangi suara rakyat lebih dari 60% dalam Pilpres, dia punya hak prerogatif dalam mengangkat atau memecat menteri. Sayangnya ini tidak dia lakukan. Bahkan, saat memperingati hari antikorupsi di Istana Negara, 10 Desember 2012, SBY justru mengatakan kasihan dan akan membantu pejabat yang korupsi. Alasannya, bisa jadi mereka tidak tahu bahwa tindakannya itu adalah korupsi. Sungguh ironis dan tragis.
SBY memang berjanji memimpin langsung perang melawan korupsi, tapi sepertinya dia memimpin perang dengan menggunakan pedang plastik dan pistol air!
Penulis adalah Direktur Program Centre of Economy and Democracy Studies (CEDeS)