Bandung - Koordinator penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wahyu B Siswanto menyebut korupsi anggaran, baik APBN maupun APBD, sudah terjadi sejak tahap perencanaan.
"Pada tahap ini kerap terjadi korupsi dengan modus perencanaan program dan manipulasi partisipasi masyarakat. Jadi mafia anggaran itu memang nyata adanya," ujar dia, ketika memberikan diskusi, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/4).
Dia mengatakan, dimulai dari tingkat daerah, dimana penyusunan program anggaran di desa sudah disusupi dengan program dari instansi tertentu. "Pada tahap ini, masyarakat dipaksa untuk mengikuti keinginan dari instansi tersebut," kata dia.
Yang terjadi selanjutnya adalah persaingan antarinstansi, termasuk di dalamnya pemerintah kecamatan dan desa. Mereka, kata Wahyu, bersaing untuk menggolkan proyek. "Di sini biasanya terjadi transaksi ekonomi-politik di belakang meja. Atau bahasa sederhananya adalah win-win solution, bagi-bagi proyek," kata dia.
Setelah itu, masing-masing instansi yang berkepentingan itu melalui anggota DPRD menekan eksekutif agar meloloskan program-program itu dalam anggaran. "Biasanya, kalau program tersebut lolos, anggota DPRD tersebut akan mendapatkan jatah proyek," kata dia.
Pada tahap pelaksanaan, normalnya korupsi terjadi pada tahap belanja barang. Menurut pengalaman Wahyu selama menjadi penyelidik di KPK, pada tahap ini terjadi mark up atau penggelembungan harga. "Pada belanja pembangunan, kerap terjadi proyek penunjukan langsung. Dan yang ditunjuk biasanya orang terdekat atau penguasa," kata Wahyu.
Wahyu mencontohkan dalam kasus korupsi mesin jahit di Departemen Sosial. Dia mengatakan, rekanan pengadaan mesin jahit menurunkan mutu dan kualitas barang tersebut.
Selanjutnya, terjadi manipulasi laporan pada tahap akhir evaluasi dan laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran. "Tim pemeriksa akan diberikan uang sogokan, fasilitas mewah agar tidak mempersoalkan hasil pemeriksaan," ucapnya.
Sementara para kepala daerah yang harus memberikan laporan pertanggungjawaban ke DRPD, maka modus yang biasanya dilakukan adalah memanipulasi keberhasilan. "Padahal program yang dinyatakan berhasil itu tak sesuai dengan realita," kata Wahyu.
Menurut Wahyu, banyak sekali contoh korupsi anggaran. Tahap evaluasi misalnya pada korupsi suap pejabat pemerintah kota Bekasi ke tim BPK II Jawa Barat yang memeriksa laporan keuangan kota Bekasi tahun 2010.
Lima orang pejabat Kota Bekasi memberikan uang senilai Rp 400 juta agar Laporan Keuangan Kota Bekasi mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian [WTP].
(brn)