March 29 2010
1
29
/03
/March
/2010
02:22
Terkait dengan kasus penggelapan, pencucian uang dan korupsi penerimaan pajak, oleh pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan, menjadi sangat relevan mempertanyakan kembali kerahasiaan data wajib pajak, agar dapat diakses oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rangka melaksanakan audit penerimaan pajak secara utuh dan menyeluruh.
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), data wajib pajak dijamin kerahasiaannya, sehingga tidak dapat diakses oleh siapapun, kecuali ada ijin dari Menteri Keuangan.
Implikasi dari kerahasiaan data wajib pajak, adalah menjadi titik kritis/ trigger point terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan aparat pajak, dalam bentuk persekongkolan dan rekayasa yang dilakukan oleh aparat pajak dengan/ bersama wajib pajak, yang tentu saja membawa "keuntungan" berupa "keringanan pajak" bagi wajib pajak, sedangkan bagi aparat pajak, adalah diperolehnya uang suap/gratifikasi, karena melakukan pemalsuan/manipulasi data wajib pajak, dengan tujuan memperkecil nilai pajak, dari yang seharusnya disetorkan. Disitulah terjadi tindak pidana korupsi, dan kolusi, yang mengakibatkan kerugian negara.
Mengingat, pentingnya penerimaan pajak untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, juga sebagai upaya pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi oleh aparat pajak, sangat mendesak untuk dilakukan revisi dan/atau judicial review UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), khususnya pasal 34, yang menjadi penghambat Badan Pemeriksa Keuangan, untuk dapat mengakses data Wajib Pajak, dalam rangka audit secara utuh dan menyeluruh terhadap penerimaan pajak.
Akibat dari dirahasiakannya data Wajib Pajak, maka akuntabilitas dan transparansi pemungutan/penerimaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), Kementerian Keuangan, belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan dan berpotensi bahkan telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat materiil (Contoh : Kasus Mafia Pajak Gayus, dan masih banyak lagi Mafia/Markus Pajak yang bersarang di Ditjen Pajak).
Apapun argumentasi, dan resistensi yang timbul dari langkah untuk melakukan revisi/judicial review UU No. 28 Tahun 2007, tentang KUP, khususnya pasal 34, baik dari Kementerian Keuangan, Mahkamah Konstitusi, atau bahkan DPR, maupun pihak lain, dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan pembiaran terjadinya tindak pidana korupsi penerimaan pajak.
Sekali lagi, Kasus Gayus, seharusnya menjadi momentum yang tepat dan menjadi faktor penekan bagi BPK, untuk mengaudit penerimaan pajak dari sisi Wajib Pajak. Dengan demikian akan tercapai transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak, yang akan mengungkap praktek-praktek Mafia / Markus Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, yang sudah lama bercokol dan mempunyai jaringan yang solid serta rapi. Dan nyaris, sudah menjadi kelaziman dikalangan aparat perpajakan.
Ironis dan menyakitkan, rakyat diwajibkan membayar pajak, bahkan bilamana perlu diintimidasi, sementara sekelompok/jaringan/mafia oknum aparat pajak dengan kejam, dan rakus, menjarah perolehan pajak dalam wujud tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme, demi memperkaya diri sendiri dan atau sekelompok orang/korporat.
Awasi penerimaan dan penggunaan pajak. Karena pajak adalah hasil keringat rakyat, harus kembali kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan dan keadilan, serta kemudahan mengakses semua fasilitas negara dan pelayanan publik, yang wajib disediakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang, pejabat dan petinggi, juga mafia korupsi dalam segala bentuk, rupa dan jenis modus operandi antara lain : mafia/markus hukum, mafia/markus pajak.
Adalah suatu kebohongan publik, bahwa pajak digunakan untuk melayani masyarakat, juga membangun bangsa dan negara. Kenyataannya, kehidupan rakyat kian sengsara, kemiskinan dan pengangguran makin meningkat dan kian kentara serta tidak terbantahkan lagi. Begitu pula, pelayanan di bidang pendidikan, kian hari, semakin sulit pula dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah. Dibidang pelayanan kesehatan, setiap saat tersuguh berita dan tayangan tentang perlakuan diskriminatif/buruk / tidak manusiawi oleh pusat layanan kesehatan, terhadap rakyat miskin yang menderita sakit.
Sangat menyesakkan dada menyaksikan drama kehidupan rakyat Indonesia yang hidup sengsara di negerinya sendiri. Sementara disisi lain penerimaan pajak diselewengkan dan dijarah oleh manusia-manusia berhati iblis dan berjiwa binatang buas, yang mewujud dalam rupa dan penampilan santun, halus bahkan terkesan innocent, tapi menyimpan kekejian dan kebengisan yang siap menerkam daging bahkan bangkai sesamanya. Naudzubillah min dzalik.
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), data wajib pajak dijamin kerahasiaannya, sehingga tidak dapat diakses oleh siapapun, kecuali ada ijin dari Menteri Keuangan.
Implikasi dari kerahasiaan data wajib pajak, adalah menjadi titik kritis/ trigger point terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan aparat pajak, dalam bentuk persekongkolan dan rekayasa yang dilakukan oleh aparat pajak dengan/ bersama wajib pajak, yang tentu saja membawa "keuntungan" berupa "keringanan pajak" bagi wajib pajak, sedangkan bagi aparat pajak, adalah diperolehnya uang suap/gratifikasi, karena melakukan pemalsuan/manipulasi data wajib pajak, dengan tujuan memperkecil nilai pajak, dari yang seharusnya disetorkan. Disitulah terjadi tindak pidana korupsi, dan kolusi, yang mengakibatkan kerugian negara.
Mengingat, pentingnya penerimaan pajak untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, juga sebagai upaya pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi oleh aparat pajak, sangat mendesak untuk dilakukan revisi dan/atau judicial review UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), khususnya pasal 34, yang menjadi penghambat Badan Pemeriksa Keuangan, untuk dapat mengakses data Wajib Pajak, dalam rangka audit secara utuh dan menyeluruh terhadap penerimaan pajak.
Akibat dari dirahasiakannya data Wajib Pajak, maka akuntabilitas dan transparansi pemungutan/penerimaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), Kementerian Keuangan, belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan dan berpotensi bahkan telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat materiil (Contoh : Kasus Mafia Pajak Gayus, dan masih banyak lagi Mafia/Markus Pajak yang bersarang di Ditjen Pajak).
Apapun argumentasi, dan resistensi yang timbul dari langkah untuk melakukan revisi/judicial review UU No. 28 Tahun 2007, tentang KUP, khususnya pasal 34, baik dari Kementerian Keuangan, Mahkamah Konstitusi, atau bahkan DPR, maupun pihak lain, dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan pembiaran terjadinya tindak pidana korupsi penerimaan pajak.
Sekali lagi, Kasus Gayus, seharusnya menjadi momentum yang tepat dan menjadi faktor penekan bagi BPK, untuk mengaudit penerimaan pajak dari sisi Wajib Pajak. Dengan demikian akan tercapai transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak, yang akan mengungkap praktek-praktek Mafia / Markus Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, yang sudah lama bercokol dan mempunyai jaringan yang solid serta rapi. Dan nyaris, sudah menjadi kelaziman dikalangan aparat perpajakan.
Ironis dan menyakitkan, rakyat diwajibkan membayar pajak, bahkan bilamana perlu diintimidasi, sementara sekelompok/jaringan/mafia oknum aparat pajak dengan kejam, dan rakus, menjarah perolehan pajak dalam wujud tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme, demi memperkaya diri sendiri dan atau sekelompok orang/korporat.
Awasi penerimaan dan penggunaan pajak. Karena pajak adalah hasil keringat rakyat, harus kembali kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan dan keadilan, serta kemudahan mengakses semua fasilitas negara dan pelayanan publik, yang wajib disediakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang, pejabat dan petinggi, juga mafia korupsi dalam segala bentuk, rupa dan jenis modus operandi antara lain : mafia/markus hukum, mafia/markus pajak.
Adalah suatu kebohongan publik, bahwa pajak digunakan untuk melayani masyarakat, juga membangun bangsa dan negara. Kenyataannya, kehidupan rakyat kian sengsara, kemiskinan dan pengangguran makin meningkat dan kian kentara serta tidak terbantahkan lagi. Begitu pula, pelayanan di bidang pendidikan, kian hari, semakin sulit pula dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah. Dibidang pelayanan kesehatan, setiap saat tersuguh berita dan tayangan tentang perlakuan diskriminatif/buruk / tidak manusiawi oleh pusat layanan kesehatan, terhadap rakyat miskin yang menderita sakit.
Sangat menyesakkan dada menyaksikan drama kehidupan rakyat Indonesia yang hidup sengsara di negerinya sendiri. Sementara disisi lain penerimaan pajak diselewengkan dan dijarah oleh manusia-manusia berhati iblis dan berjiwa binatang buas, yang mewujud dalam rupa dan penampilan santun, halus bahkan terkesan innocent, tapi menyimpan kekejian dan kebengisan yang siap menerkam daging bahkan bangkai sesamanya. Naudzubillah min dzalik.