Overblog
Edit post Follow this blog Administration + Create my blog
May 4 2011 4 04 /05 /May /2011 16:27
Thursday, April 28, 2011, 21:43, Monitor Indonesia

Munculnya kembali kasus mantan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Antasari Azhar, akhirnya menjadi pintu masuk untuk mengungkap kejanggalan yang terjadi dalam Pemilu. Kuat dugaan, kasus pembunuhan berencana yang ditimpakan kepada Antasari adalah trik yang dilakukan kelompok tertentu, guna menjatuhkan wibawa KPK saat menangani dugaan kasus korupsi pada sistim IT (Teknologi Informasi) yang dipakai KPU (Komisi Pemilihan Umum) pada Pemilu 2009 lalu. 

 

 

Justiani (Liem Siok Lan ) 

 

LANTAS , seperti apakah sebenarnya kejanggalan maupun amburadulnya pada sistim IT KPU itu? Menurut Justiani, saksi ahli bidang sistim IT yang pernah bersaksi di Mahkamah Konstitusi (MK) 2009 silam, sistim IT KPU sangat rawan kecurangan.

 

Berikut adalah perbincangan Monitor Indonesia dengan wanita yang akrab disapa Liem Siok Lan, yang juga tokoh deklarator DEPAN (Dewan Penyelamat Negara)  ini, di Jakarta, Kamis (28/4/2011).


Apa yang sebenarnya ingin Anda sampaikan sebagai saksi ahli bidang sistim IT?


Tugas saya adalah memberi contoh sistim IT Pemilu dari negara tetangga yang sudah terbukti sukses dan itu bukan perkara sulit. Lalu, membandingkan dengan rancangan amburadul sistim IT KPU yang menjadi penyebab bermasalahnya DPT, rawan manipulasi, hingga penghitungan suara yang tidak bisa dijamin kebenarannya.


Titik-titik rawan seperti apa?


Sistim IT harusnya terintegrasi dari awal hingga akhir. Mulai dari sensus pemilih harus berbasis IT sampai dengan pra pelaksanaan (persiapan logistik), pelaksanaan, pemantauan, dan penghitungan langsung dari TPS yang harus realtime. Semua itu tidak dilakukan KPU, padahal anggarannya trilyunan rupiah. Akibatnya, tidak aneh kalau ada 25 juta rakyat tidak masuk DPT, atau DPT ganda, sampai masalah tidak dikenal, sehingga jumlah golput tinggi, dan akibat-akibat lainnya.


Apa yang Anda lihat dari sistim IT KPU?


Perhatikan saja dari performans yang bisa dilihat dengan kasat mata, belum lagi perlu mengaudit perangkat lunaknya (software-nya). Antara lain, penghitungan suara 110 juta dalam waktu 1 bulan, dimana setiap hari kenaikan 1 juta, kemudian di hari terakhir langsung melonjak. Sistim komputerisasi masih amat primitif, yaitu hanya digunakan untuk meng-entry data dari rekapitulasi tingkat kecamatan, yang mudah terjadi kesalahan. Di negara lain sudah menggunakan sistim online ”real time”, sehingga hasil penghitungan langsung dari TPS dan selesai pada hari yang sama. Kemudian, sistim komputerisasi tanpa ”double engine” menyebabkan tidak ada backup ketika terjadi crash atau terputusnya koneksi yang menyebabkan data hilang, atau munculnya data yang ekstrim jumlahnya jutaan, sehingga muncul kekacauan pada angka perolehan suara.


Tak hanya itu, sistim komputerisasi tidak diaudit oleh publik melalui pihak independen, dan tanpa akses terbuka kepada rakyat, padahal sudah ada SMS, Blackberry, dan internet, makanya telah dimanfaatkan untuk jual beli suara.


Terakhir, biaya IT untuk penghitungan tersebut membutuhkan dana sekitar Rp 800 miliar untuk menangani 600.000 TPS dan 170 juta suara saja. Bandingkan dengan “sistim sms” yang hasilnya pada hari yang sama dan biaya hanya Rp 60 miliar (600 ribu TPS X Rp.100.000 simcard, pulsa dan honor saksi TPS).


Pengalaman Anda di negara lain, tidak terjadi seperti di kita ini?


Justru itu yang amat menyedihkan. Sementara, di negara lain teknologi telah membuktikan peranannya, sehingga layanan bisa murah, efisien, transparan, adil, jujur, bisa diakses seluruh rakyat secara terbuka. Di Indonesia justru disiasati untuk dimanipulasi.


Anda juga menyampaikan soal quickcount (hitung cepat) yang menyesatkan, padahal sudah tidak dipakai di dunia?


Quick count dari 2000 TPS (0,3% dari 600.000 TPS) dijadikan dasar mengambil keputusan oleh presiden. Ini keliru besar. Pertama, “quick count” sudah tidak digunakan di dunia, karena adanya sistim “real time” (real count) yang murah, mudah, langsung tayang (real time), mengapa perlu quick count.


Ada 2 kemungkinan, yakni presiden tidak paham statistik atau presiden yakin bahwa kecurangan didesain secara sistimatik sehingga menjamin hasil ”quickcount” merefleksikan hasil ”realcount”. Sebagai perbandingan, yahoo atau facebook sudah mengelola miliaran pelanggan, maka sudah sejak lama cara quick count (2000 TPS) tidak digunakan di dunia, karena proses real time dan real count (apalagi cuma untuk 600.000 TPS) sudah bisa dilaksanakan dengan mudah, murah, cepat, akurat, transparan, dan langsung tayang pada hari yang sama.


Untuk apa quick count? Hanya untuk penyesatan saja. Kuno. Primitif. Atau Kejahatan yang membodohi rakyat.


Jadi bisa dibilang Quickcount dan sistim IT amburadul adalah dua sisi kecurangan sistemik?


Anda cerdas sekali. Quickcount untuk penyesatan. Sistim amburadul untuk memaksa perolehan sesuai tayangan quickcount. Dan karena sistimnya amburadul, maka sulit pembuktiannya. Ditambah DPT yang banyak bermasalah, itu untuk memberi petunjuk kepada petugas secara tidak langsung tapi mudah, yaitu yang tidak hadir (golput), nama, NIK, alamat, tanggal lahir dobel-dobel, anak-anak, orang mati, tidak dikenal, dll. untuk dicontreng sendiri oleh petugas dengan imbalan uang atau resiko jabatan kalau tidak melaksanakan.


Ini kerjasama KPU dan Perangkat Pemerintah di tingkat kecamatan, kelurahan, RT/RW, karena KPU tidak memiliki lengan sampai ke bawah sekali. Maka, hasil sesuai dengan tayangan quickcount. Persis. Ada yang menyebut SBY David Copperfield. Itu tepat sekali.


Apakah Anda bisa memberikan gambaran yang mudah sebagai perbandingan agar bisa meyakinkan bahwa membuat sistim seperti di negara lain adalah sangat mudah dan para ahli IT kita juga mampu?


Perhatikan fakta di sekitar kita. Jaringan telematika untuk perbankan yang mengelola dana ribuan trilyun saja tidak ada yang hilang, mengapa hanya mengurus 170 juta pemilih dan 600.000 TPS saja begitu heboh.


Fakta lain. Mama Lauren dengan “ketik reg” bisa mengelola lebih dari 1 juta pelanggan, sedang TPS hanya 600.000 saja. Sebagai perbandingan. Di negara tetangga, Sensus Pemilih (pendaftaran DPT) bisa dilakukan dengan sms berhadiah diundi tiap minggu, sehingga murah meriah, rakyat partisipatif, realtime, efisien, dan RT/RW bisa membantu bagi yang tidak punya akses HP dan internet.


Sebagai perbandingan lagi. Di negara tetangga. Laporan bisa langsung dari TPS melalui voice & foto & video & scan formulir (direkam dan dikirim via internet/handphone), sehingga rakyat bisa melihat tayangan hasil perolehan setiap TPS dengan berbagai cara, apakah lewat telepon, internet, sms atau chanel TV yang khusus. Sehingga transparan semuanya.


Jika kecurangan-kecurangan pada sistim IT KPU akhirnya bisa terbongkar, apakah itu bisa berarti jabatan presiden yang disandang SBY saat ini boleh disebut ilegal?


 

Yang pasti, presiden abal-abal


Share this post
Repost0

comments

Overview

  • : CAKRAWALA JAGAD RAYA- SOLIDARITAS ANTI KORUPSI
  • : BLOG SOLIDARITAS ANTI KORUPSI - Ungkapan dan pandangan tentang berbagai permasalahan sosial, ekonomi, kemasyarakatan, lingkungan hidup, praktek penyelenggaraan negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi serta fenomena-fenomena terkait.
  • Contact

Profile

  • Harsudi CH
  • Anak bangsa yang miris melihat kondisi sosial ekonomi di negeri tercinta Indonesia. Tidak bisa berbuat banyak kecuali mengajak sesama anak bangsa untuk mulai sadar dan peduli melawan  korupsi yang semakin menggurita di Bumi Ibu Pertiwi ini.
  • Anak bangsa yang miris melihat kondisi sosial ekonomi di negeri tercinta Indonesia. Tidak bisa berbuat banyak kecuali mengajak sesama anak bangsa untuk mulai sadar dan peduli melawan korupsi yang semakin menggurita di Bumi Ibu Pertiwi ini.

KORUPSI ADALAH NAFAS KEHIDUPAN MAYORITAS PENYELENGGARA NEGARA

addesign-copy-1http://blog-indonesia.com/image/badge_3dyellow.gif

ANNOUNCEMENT

Archives

TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF
HILANG HARAPAN ANAK INDONESIA AKIBAT KORUPSI

.

Clipping - Politik / Korupsi

Categories

SHOLAT TIMES